Pemerintah baru menerbitkan stimulus ekonomi yang sudah diperkuat oleh peraturan dari masing-masing bidangnya.
Berikut ini diskusi dengan pelaku pasar keuangan yaitu Head of Investment PT Avrist Asset Management, Tb. Farash Farich, terkait dengan dampak stimulus dan harapan pelaku pasar terhadap kebijakan pemerintah ke depannya di tengah kondisi sekarang.
Bagaimana kebijakan pemerintah dengan penerbitan stimulus ekonomi?
Stimulus ekonomi pada dasarnya baik dan diperlukan pada masa ekonomi sulit. Yang telah disampaikan pemerintah sudah meng-cover banyak aspek secara komprehensif. Namun tentunya perlu disesuaikan secara berkala, misalnya secara bulanan, terkait jumlah dan instrumen stimulus yang digunakan.
Dan tentunya stimulus berapapun masih tidak cukup seandainya penyebaran virus dan tingkat kematian tidak dapat turun.
Apakah respon pelaku pasar terhadap stimulus ekonomi saat ini sudah sejalan dengan meredanya koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)?
Pengumuman stimulus ekonomi memang positif terhadap pelaku pasar dan pasar saham (market) dalam beberapa hari terakhir.
Namun, secara umum, belum ada korelasi kuat antara stimulus yang disampaikan pemerintah dengan pembalikan arah menjadi menguat (rebound) IHSG karena pengaruh terhadap IHSG saat ini lebih besar dari isu penyebaran dan penanganan Covid-19 dari global dan domestik. Selain itu, rebound IHSG juga dipengaruhi valuasi yang sudah tertekan (depressed).
Di sisi lain, pasar obligasi pemerintah atau surat berharga negara (SBN) masih terus melanjutkan koreksi setelah pengumuman stimulus. Sehingga, rebound di pasar saham dan obligasi yang sustainable baru akan terjadi bila penyebaran virus dan tingkat kematian menurun, atau paling tidak mulai mendatar (flattened).
Bagaimana dengan kebijakan pemerintah terhadap rupiah?
Rupiah koreksi lebih dalam dari mata uang lain serupa (peers). Skenario terburuk dari pemerintah bahwa rupiah bisa sampai Rp 20.000 per dolar AS cukup disikapi (di-appreciate) positif keterbukaannya, tetapi sekaligus membuat gugup (nervous) banyak investor asing.
Pasar lindung nilai rupiah (domestic non-deliverable forward rupiah/DNDF) perlu lebih ditingkatkan likuiditas dan intervensinya terutama untuk jangka waktu di atas 1 bulan sehingga selisih (gap) pasar rupiah forward dan pasar spot akan bisa sesuai dengan selisih (spread) historisnya agar meningkatkan rasa aman investor terkait risiko mata uang (currency risk) hingga akhir 2020.
Apa tantangan terberat yang dapat datang ke depannya sehingga harus dihadapi dan disiapkan pelaku pasar dan pemerintah?
Di bidang ekonomi, perlu disiapkan naiknya angka pengangguran (unemployment) di sektor formal dan non-formal. Selain itu isu tentang risiko kredit tidak lancar (non-performing loan/NPL), stabilitas rupiah, inflasi, risiko turunnya peringkat kualitas kredit (rating) utang pemerintah, dan dampak stimulus terhadap risiko penerbitan (supply risk) SBN.
Akan tetapi, yang paling diharapkan oleh pelaku pasar dan kemungkinan adalah sebagian besar masyarakat adalah meredanya dan mendatarnya (flattened) kurva penyebaran virus dan tingkat kematiannya akibat penanganan yang baik dari pemerintah.
Apa usulan kebijakan pemerintah yang perlu dilakukan di saat sekarang ini?
Untuk kondisi ekonomi sekarang ini, perlu adanya gerak cepat pemerintah untuk menghadapi risiko gugurnya UMKM dan sektor informal dengan realisasi penyaluran bantuan seperti BLT, bansos, dan PKH, supaya lebih cepat lagi.
Kecepatan itu sangat diperlukan karena UMKM dan sektor informal adalah kelas ekonomi yang paling terancam dengan kondisi semacam ini [di tengah kondisi social distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar], dan dapat berpengaruh ke NPL perbankan-lembaga keuangan hingga potensi naiknya tingkat pengangguran.
Di sektor keuangan, perlu adanya intervensi DNDF, intervensi credit default swap (CDS) SBN valas, pengendalian lebih kuat atas penyebaran virus dan tingkat kematiannya, jika ada tertundanya (pending) persetujuan penambahan modal di bank dan seluruh industri riil-keuangan oleh investor agar segera dipercepat.
Selain itu, perlu juga membatasi supply risk SBN, menghindari penurunan (downgrade) rating utang, serta adanya insentif untuk menarik masuknya minat modal (capital inflow). Insentif menarik minat modal misalnya adalah insentif pajak kupon SBN agar diperpanjang sehingga tetap 5% hingga minimum sampai 2021. (ndr)